Aceh, Viralutama.co.id- Virus corona yang kini telah menjangkiti ribuan orang di berbagai belahan dunia, sepertinya tidak menjadikan Pemerintah Aceh lebih berhati-hati dalam membangun komunikasi massa. Pernyataan Plt Gubernur Aceh bahwa RSUZA belum memiliki alat untuk perawatan dan penanganan serangan corona, membuat publik bertambah khawatir.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Koalisi NGO HAM Aceh, Zulfikar Muhammad, Sabtu 14 Maret 2020 Dalam rilisnya yang dikirimkan kepada wartawan, pegiat kemanusiaan itu menjelaskan, Pemerintah Aceh terlihat bingung dalam menangani isu corona.
“Pemerintah Aceh masih gagap hadapi potensi pandemik convid-19. Berkali-kali Pemerintah Aceh bicara dan buat iklan di media, masyarakat tetap saja kebingungan dengan informasi tersebut. Terlalu banyak istilah dan ambigu. Hal ini lebih dikarenakan tidak adanya arahan yang jelas dari pimpinan daerah. Termasuk terakhir sekali Plt Nova Iriansyah saat mengunjungi RSUZA, informasi yang disampaikan ke publik justru tidak adanya alat yang dibutuhkan untuk penanganan corona. Maka Pemerintah Aceh membutuhkan tambahan alat dengan harga 15 milyar, itu pun belum jelas sumber uangnya,” ujar Zulfikar.
Koalisi NGO HAM menilai ada yang gagap pada level pimpinan daerah dalam mengambil langkah-langkah strategis menangani wabah corona. Informasi ketidak cukupan alat medis khusus justru menimbulkan kepanikan masyarakat.
“Kami menilai sebenarnya Pemerintah Aceh belum serius dan terkesan anggap remeh dengan kemungkinan wabah itu sampai ke Aceh,” katanya.
Zulfikar juga menyoal nomor telepon pelaporan yang disebar oleh RSUZA, ternyata tidak aktif. Menurutnya, dengan fakta tersebut, Pemerintah Aceh, terlihat benar-benar tidak menaruh perhatian besar pada corona.
Ada tiga alasan yang diajukan oleh Koalisi NGO HAM, yang kemudian menyebutkan antisipasi corona oleh Pemerintah Aceh sangat buruk.
Pertama, lemahnya center informasi Pemerintah Aceh dalam menyosialisasikan Covid-19 ke semua lapisan masyarakat. Sampai hari ini belum ada penyebaran sms ke semua pengguna HP di Aceh tentang pencegahan dan penanganan covid-19. padahal diketahui bahwa covid-19 dapat masuk dengan mudah karena interaksi masyarakat.
Kedua, tidak adanya protokol pelaporan mulai dari hulu ke hilir. Pemerintah Aceh seharusnya menyusun skema pelaporan mulai dari tingkat desa sampai tingkat propinsi. Misal dengan menugaskan secara khusus kader posyandu, bides, puskesmas, rumah sakit kota/kabupaten sampai ke rumah sakit propinsi. Kader posyandu dapat ditugaskan secara rutin setiap hari untuk mengajari atau mengingatkan masyarakat tentang kebersihan diri dan lingkungan.
Ketiga, tidak adanya rencana khusus atas potensi terjadi penyebaran virus covid-19. Misal ketika wabah menyebar di satu komplek pemukiman padat penduduk/hunian kumuh. Tentu harus dipikirkan khusus pula apakah mau dievakuasi? Jika dievakuasi, kemana? Bila tidak dievakuasi, langkah apa yang harus di ambil untuk pemukiman tersebut?
“Intinya, sejauh ini pola komunikasi yang dibangun sangat buruk. Tim kerja di bawah gubenur, saya lihat lebih fokus meredam orang kritis, ketimbang membantu memberikan informasi yang benar. Juga di level pimpinan, mereka justru lebih sibuk dengan kegiatan rapat ke rapat ketimbang mengurus corona secara serius,” imbuhnya.
Wira